Assalamualaikum
Sering kali kita mendapat Pertanyaan-pertanyaan dijalankan masyarakat yang awam atau tidak memiliki ilmu tentang puasa di bulan sya'ban ada beberapa pertanyaan misalnya
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum berpuasa pada bulan Sya’ban?
2. Adakah Larangan Puasa Setelah Nishfu Sya’ban?
Maka jawabannya adalah :
1. Berpuasa pada bulan Sya’ban hukumnya sunnah dan memperbanyak puasa di dalamnya juga termasuk sunnah, hingga Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Saya tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” Berdasarkan hadits ini, kita harus memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Ahlul ilmi berkata, “Puasa di bulan Sya’ban seperti shalat sunnah Rawatib bila dibandingkan dengan shalat wajib, dan puasa bulan Sya’ban seakan-akan menjadi muqaddimah bagi puasa Ramadhan atau sunnah Rawatib-nya bulan Ramadhan. Maka dari itu, disunnahkannya puasa di bulan Sya’ban dan puasa enam hari pada bulan Syawwal diibaratkan seperti shalat Rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu. Puasa bulan Sya’ban mempunyai faidah lain yaitu menenangkan jiwa dan mempersiapkan diri untuk berpuasa di bulan Ramadhan, sehingga ketika memasuki bulan Ramadhan seseorang sudah siap dan mudah melaksanakannya.
2. Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani).
Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha , beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah berpuasa selama satu bulan yang lebih banyak daripada puasa bulan Sya’ban. Terkadang, beliau hampir berpuasa Sya’ban selama sebulan penuh.” (HR. Bukhari dan Muslim) Secara zahir, kedua hadis di atas bertentangan. Karena itu, ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadis yang pertama. Pendapat yang kuat dalam mengompromikan dua hadis di atas adalah pendapat yang disebutkan dalam Aunul Ma’bud, yang menukil keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6:330)
Wassalam
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji ( Fatawa Arkanul Islam ), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha , beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah berpuasa selama satu bulan yang lebih banyak daripada puasa bulan Sya’ban. Terkadang, beliau hampir berpuasa Sya’ban selama sebulan penuh.” (HR. Bukhari dan Muslim) Secara zahir, kedua hadis di atas bertentangan. Karena itu, ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadis yang pertama. Pendapat yang kuat dalam mengompromikan dua hadis di atas adalah pendapat yang disebutkan dalam Aunul Ma’bud, yang menukil keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6:330)
Wassalam
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji ( Fatawa Arkanul Islam ), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,